Sabtu, 17 September 2016

R I B A H

PAKAIAN KEREN, TAMPILAN MEMUKAU, PADAHAL PROFESINYA LEBIH HINA PUN LEBIH BESAR DOSANYA DARI PEZINA. APA ITU ? BEKERJA DI TEMPAT RIBA !!!

image


Memakan Satu Dirham dari Hasil Riba …
Di akhir zaman sekarang ini, telah nampak praktek riba tersebar di mana-mana. Dalam ruang lingkup masyarakat yang kecil hingga tataran negara, praktek ini begitu merebak baik di perbankan, lembaga perkreditan, bahkan sampai yang kecil-kecilan semacam dalam arisan warga. Entah mungkin kaum muslimin tidak mengetahui hakekat dan bentuk riba.
Mungkin pula mereka tidak mengetahui bahayanya. Apalagi di akhir zaman seperti ini, orang-orang begitu tergila-gila dengan harta sehingga tidak lagi memperhatikan halal dan haram. Sungguh, benarlah sabda Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لاَ يُبَالِى الْمَرْءُ بِمَا أَخَذَ الْمَالَ ، أَمِنْ حَلاَلٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ
“Akan datang suatu zaman di mana manusia tidak lagi peduli dari mana mereka mendapatkan harta, apakah dari usaha yang halal atau haram.” (HR. Bukhari no. 2083)
Oleh karena itu, sangat penting sekali materi diketengahkan agar kaum muslimin apa yang dimaksud dengan riba, apa saja bentuknya dan bagaimana dampak bahayanya. Allahumma yassir wa a’in. Ya Allah, mudahkanlah kami dan tolonglah kami dalam menyelesaikan pembahasan ini.
Seorang Pedagang Haruslah Memahami Hakekat Riba
As Subkiy dan Ibnu Abi Bakr mengatakan bahwa Malik bin Anas mengatakan,
فَلَمْ أَرَ شَيْئًا أَشَرَّ مِنْ الرِّبَا ، لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَذِنَ فِيهِ بِالْحَرْبِ
“Aku tidaklah memandang sesuatu yang lebih jelek dari riba karena Allah Ta’ala menyatakan akan memerangi orang yang tidak mau meninggalkan sisa riba yaitu pada firman-Nya,
فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنْ اللَّهِ وَرَسُولِهِ
“Maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu (disebabkan tidak meninggalkan sisa riba).” (QS. Al Baqarah: 279)
‘Umar radhiyallahu ‘anhu berkata,
لَا يَتَّجِرْ فِي سُوقِنَا إلَّا مَنْ فَقِهَ أَكْلَ الرِّبَا .
“Janganlah seseorang berdagang di pasar kami sampai dia paham betul mengenai seluk beluk riba.”
‘Ali bin Abi Tholib mengatakan,
مَنْ اتَّجَرَ قَبْلَ أَنْ يَتَفَقَّهَ ارْتَطَمَ فِي الرِّبَا ثُمَّ ارْتَطَمَ ثُمَّ ارْتَطَمَ
“Barangsiapa yang berdagang namun belum memahami ilmu agama, maka dia pasti akan terjerumus dalam riba, kemudian dia akan terjerumus ke dalamnya dan terus menerus terjerumus.” (Mughnil Muhtaj, 6/310)
Apa yang Dimaksud dengan Riba?
Secara etimologi, riba berarti tambahan (al fadhl waz ziyadah). (Lihat Al Mu’jam Al Wasith, 350 dan Al Misbah Al Muniir, 3/345). Juga riba dapat berarti bertambah dan tumbuh (zaada wa namaa). (Lihat Al Qomus Al Muhith, 3/423)
Contoh penggunaan pengertian semacam ini adalah pada firman Allah Ta’ala,
فَإِذَا أَنْزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَاءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ
“Maka apabila Kami turunkan air di atasnya, niscaya ia bertambah dan tumbuh subur.” (QS. Fushilat: 39 dan Al Hajj: 5)
Sedangkan secara terminologi, para ulama berbeda-beda dalam mengungkapkannya.
Di antara definisi riba yang bisa mewakili definis yang ada adalah definisi dari Muhammad Asy Syirbiniy. Riba adalah:
عَقْدٌ عَلَى عِوَضٍ مَخْصُوصٍ غَيْرِ مَعْلُومِ التَّمَاثُلِ فِي مِعْيَارِ الشَّرْعِ حَالَةَ الْعَقْدِ أَوْ مَعَ تَأْخِيرٍ فِي الْبَدَلَيْنِ أَوْ أَحَدِهِمَا
“Suatu akad/transaksi pada barang tertentu yang ketika akad berlangsung tidak diketahui kesamaannya menurut ukuran syari’at, atau adanya penundaan penyerahan kedua barang atau salah satunya.” (Mughnil Muhtaj, 6/309)
Ada pula definisi lainnya seperti yang dikemukakan oleh Ibnu Qudamah, riba adalah:
الزِّيَادَةُ فِي أَشْيَاءَ مَخْصُوصَةٍ
“Penambahan pada barang dagangan/komoditi tertentu.” (Al Mughni, 7/492)
Hukum Riba
Seperti kita ketahui bersama dan ini bukanlah suatu hal yang asing lagi bahwa riba adalah sesuatu yang diharamkan dalam syari’at Islam. Ibnu Qudamah mengatakan,
وَهُوَ مُحَرَّمٌ بِالْكِتَابِ ، وَالسُّنَّةِ ، وَالْإِجْمَاعِ
“Riba itu diharamkan berdasarkan dalil Al Qur’an, As Sunnah, dan Ijma’ (kesepakatan kaum muslimin).” (Al Mughni, 7/492)
Bahkan tidak ada satu syari’at pun yang menghalalkan riba. Al Mawardiy mengatakan, “Sampai dikatakan bahwa riba sama sekali tidak dihalalkan dalam satu syari’at pun. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَأَخْذِهِمْ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ
“Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal Sesungguhnya mereka Telah dilarang daripadanya.” (QS. An Nisaa’: 161). Maksudnya adalah riba ini sudah dilarang sejak dahulu pada syari’at sebelum Islam. (Mughnil Muhtaj, 6/309)
Di antara dalil Al Qur’an yang mengharamkan bentuk riba adalah firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Ali Imron: 130)
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al Baqarah: 275)
Di antara dalil haramnya riba dari As Sunnah adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan bahwa memakan riba termasuk dosa besar.
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ » . قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ ، وَمَا هُنَّ قَالَ « الشِّرْكُ بِاللَّهِ ، وَالسِّحْرُ ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِى حَرَّمَ اللَّهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ ، وَأَكْلُ الرِّبَا ، وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ ، وَالتَّوَلِّى يَوْمَ الزَّحْفِ ، وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلاَتِ »
“Jauhilah tujuh dosa besar yang akan menjerumuskan pelakunya dalam neraka.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apa saja dosa-dosa tersebut?”
Beliau mengatakan, “[1] Menyekutukan Allah, [2] Sihir, [3] Membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan alasan yang dibenarkan, [4] Memakan harta anak yatim, [5] memakan riba, [6] melarikan diri dari medan peperangan, [7] menuduh wanita yang menjaga kehormatannya lagi (bahwa ia dituduh berzina).” (HR. Bukhari no. 2766 dan Muslim no. 89)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun melaknat para rentenir (pemakan riba), yang mencari pinjaman dari riba, bahkan setiap orang yang ikut menolong dalam mu’amalah ribawi juga ikut terlaknat.
Dari Jabir bin ‘Abdillah, beliau berkata,
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba (rentenir), orang yang menyerahkan riba (nasabah), pencatat riba (sekretaris) dan dua orang saksinya.” Beliau mengatakan, “Mereka semua itu sama.”(HR. Muslim no. 1598)
Maksud perkataan “mereka semua itu sama”, Syaikh Shafiyurraahman Al Mubarakfury mengatakan, “Yaitu sama dalam dosa atau sama dalam beramal dengan yang haram. Walaupun mungkin bisa berbeda dosa mereka atau masing-masing dari mereka dari yang lainnya.” (Minnatul Mun’im fi Syarhi Shohihil Muslim, 3/64)
Dampak Riba yang Begitu Mengerikan
Sungguh dalam beberapa hadits disebutkan dampak buruk dari memakan riba. Orang yang mengetahui hadits-hadits berikut ini, tentu akan merasa jijik jika harus terjun dalam lembah riba.
[Pertama] Memakan Riba Lebih Buruk Dosanya dari Perbuatan Zina
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
دِرْهَمُ رِبًا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتَّةِ وَثَلاَثِيْنَ زَنْيَةً
“Satu dirham yang dimakan oleh seseorang dari transaksi riba sedangkan dia mengetahui, lebih besar dosanya daripada melakukan perbuatan zina sebanyak 36 kali.” (HR. Ahmad dan Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman. Syaikh Al Albani dalam Misykatul Mashobih mengatakan bahwa hadits ini shahih)
[Kedua] Dosa Memakan Riba Seperti Dosa Seseorang yang Menzinai Ibu Kandungnya Sendiri
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الرِبَا ثَلاَثَةٌ وَسَبْعُوْنَ بَابًا أيْسَرُهَا مِثْلُ أَنْ يَنْكِحَ الرُّجُلُ أُمَّهُ وَإِنْ أَرْبَى الرِّبَا عِرْضُ الرَّجُلِ الْمُسْلِمِ
“Riba itu ada 73 pintu (dosa). Yang paling ringan adalah semisal dosa seseorang yang menzinai ibu kandungnya sendiri. Sedangkan riba yang paling besar adalah apabila seseorang melanggar kehormatan saudaranya.” (HR. Al Hakim dan Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih dilihat dari jalur lainnya)
[Ketiga] Tersebarnya riba merupakan “pernyataan tidak langsung” dari suatu kaum bahwa mereka berhak dan layak untuk mendapatkan adzab dari Allah Ta’ala
Tersebarnya riba merupakan “pernyataan tidak langsung” dari suatu kaum bahwa mereka berhak dan layak untuk mendapatkan adzab dari Allah ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا ظَهَرَ الزِّناَ وَالرِّبَا فِي قَرْيَةٍ فَقَدْ أَحَلُّوْا بِأَنْفُسِهِمْ عَذَابَ اللهِ
“Apabila telah marak perzinaan dan praktek ribawi di suatu negeri, maka sungguh penduduk negeri tersebut telah menghalalkan diri mereka untuk diadzab oleh Allah.” (HR. Al Hakim. Beliau mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan lighoirihi)

NASEHAT YANG LEBIH MANIS DARI PADA MADU



 Dikutip dari buku “lelaki yang paling bahagia di dunia” karangan syaikh Aidh Al-Qarni

 0. mulailah harimu dengan sholat fajr dan doa-doa di pagi hari agar kau mendapatkan keberuntungan dan kesuksesan
 1. lanjutkan dengan istighfar agar syetan menghindar darimu
 2. jangan putus berdoa, karena sesungguhnya doa merupakan tali kesuksesan
 3. ingatlah bahwa apapun yg kau katakan akan dicatat oleh malaikat
 4. senantiasalah optimis meskipun engkau dalam puncak kesusahan
5. bahwa keindahan jari jemari karena ia terikat dengan tasbih
 6. jika engkau menghadapi kegelisahan dan berbagai kegundahan maka ucapkanlah “laa ilaaha illallahu”
 7. belilah dengan uang dirhammu (berinfaklah) untuk mendapatkan doa orang fakir dan kecintaan orang miskin
 8. sujud panjang dengan khusyuk itu lebih baik daripada istana2 yang mgah.
 9. berfikirlah sebelum berkata, bisa jadi satu perkataanmu bisa mematikan (menyakiti hati orang)
 10. berhati hatilah terhadap doa orang yang didholimi dan air mata orang yang terampas haknya
 11. Sebelum engkau membaca buku, koran dan majalah, bacalah terlebih dahulu AlQur’an
 12. jadilah kau sebab bagi keistiqomahan keluargamu
 13. bersungguh-sungguhlah jiwamu melaksanakan ketaatan, karena jiwa manusia itu senantiasa mengajak kepada keburukan
 14. Ciumlah telapak tangan kedua orangtuamu, kau pasti mendapatkan keridhoan
 15. Baju-baju lamamu merupakan baju baju baru menurut orang orang fakir
 16. janganlah kau marah, karena hidup ini sangat singkat dari yang kau bayangkan
 17. Engkau senantiasa bersama dzat yang maha kuat maha kaya, dialah Allah ‘azza wa jalla,
 18. Jangan kau tutup pintu terkabulnya doa dengan melakukan maksiat
 19. sholat adalah sebaik baik penolongmu dalam menghadapi berbagai musibah dan kelelahan
 20. hindari berburuk angka, kau akan mendapatkan ketenangan dan kenyamanan
 21. penyebab dari segala kegundahan adalah berpaling dari ALLAH, maka segeralah menuju kepada Nya.
 22. Sholatlah kau, karena sholatmu akan menemanimu di kubur
 23. jika kau mendengar orang yang meggunjing (ghibah) maka katakanlah padanya: bertaqwalah kau kepada ALLAH
 24. dawamkanlah (senantiasa) kau baca surat Tabarak (sural Al Mulk) karena ia adalah penyelamat
 25. orang yang mahruum (terhalang dari rahmat Allah) adalah orang yang terhalang dari mengerjakan sholat dg khusyuk dan mengalirkan air mata
 26. Jangan kau hina orang mukmin yang sedang lalai
 27. jadikanlah semua rasa cinta itu karena ALLAH dan Rasul Nya
 28. maafkanlah orang yang menggunjingmu, karena dia telah menghadiahkan kebaikannya untukmu
 29. sholat, tilawah, dzikir, merupakan hiasan damu
 30. barangsiapa mengingat panasnya neraka maka ia akan bersabar terhadap dorongan untuk melakukan maksiat
 31. selama qiyamullail ditegakkan, maka segala penyakit akan hilang, krisis akan berlalu, dan kesusahan akan lenyap
 32. jauhilah “katanya dan katanya” karena kau masih punya pekerjaan bak gunung
 33. Kerjakanlah sholat dengan khusyuk, karena segala hal yang menantimu selain sholat itu lebih rendah urusannya daripada sholat
 34. jadikanlah mushaf senantiasa disisimu, karena membaca satu ayat Al-Quran itu lebih baik daripada dunia dan isinya
 35. kehidupan itu indah, dan lebih indah lagi jika kau sartai iman.
 Ana telah mengirimkan pesan ini kepada orang2 yang ana cintai, maka kirimkanlah pesan ini kepada orang2 yang anta/i cintai.

Laa ma’buda bihaqqin illallah !!!

Laa ma’buda bihaqqin illallah !!!


A : “Pak dosen, bisa tolong jelaskan ke ana apa makna dari kalimat ‘Laa ilaaha illallah’?”

B : “Baiklah, akan ana jelaskan, dengarkan baik2…
Kalimat Laa ilaaha illallah mempunyai 2 makna, yaitu:
1. Tidak ada Tuhan selain Allah.
2. Tidak ada tuhan (“t” kecil) selain Tuhan (“t” besar).”

A : “Tidak ada tuhan selain Allah? Apa arti dari kata ‘Tuhan’ pada kalimat tersebut, pak dosen?”
B : “Tuhan artinya Sang Pencipta, Pemberi rizki, dan Pengatur alam semesta.”

A : “Kalau Tuhan diartikan hanya sebagai Sang pencipta, pemberi rizki, dan pengatur alam semesta, berarti orang2 musyrikin Mekkah pada zaman Nabi Muhammad juga termasuk muslim, bukan orang musyrik, tapi kenapa mereka diperangi sama Nabi?”

B : “Siapa yang bilang kalo mereka juga muslim?? Mereka tetap musyrik!”

A : “BUkankah mereka juga mengakui dan mempercayai kalau Tuhan mereka adalah Allah, yang telah menciptakan mereka, memberi rizki mereka dan mengatur alam semesta ini?!
Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Katakanlah, ’Siapakah yang memberi rizki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala urusan?’ Maka mereka akan menjawab,’Allah’” (QS. Yunus [10]: 31).
Ayat tersebut ditujukan kepada kaum musyrikin pada waktu itu yang juga menyakini bahwa Tuhan  mereka adalah Allah sebagai Pencipta, Pemberi rizki, dan Pengatur alam semesta. Kalau mereka mengakui juga seperti itu, lantas kenapa mereka tetap musyrik dan diperangi??”

B : (Glek…!) “Maaf, Tuhan itu bermakna Sesembahan. Jadi Laa ilaaha illallah maknanya adalah ‘Tidak ada sesembahan selain Allah’.”

A : “Tidak ada sesembahan selain Allah??… Hmmm….
Berarti Nabi Isa adalah Allah? Sesembahannya kaum musyrikin Mekkah seperti Wadd, Suwa, Yaghuts, Ya’uq, Nasr, Latta, Uzza, dan Manat semuanya adalah Allah?”

B: “Tidak! Siapa yang bilang mereka adalah Allah? Mereka adalah berhala2, bukan Allah!”

A : “Coba bapak cermati, kalimat ‘Tidak ada sesembahan kecuali Allah’, artinya sama dengan ‘Semua sesembahan adalah Allah’. Contoh lain adalah ketika kita mengatakan, ‘Tidak ada pendaki gunung kecuali memiliki senter’ maka artinya sama dengan ‘Semua pendaki gunung memiliki senter.”
Berarti semua sesembahan yang disembah di dunia ini adalah Allah? Jika mengikuti makna dari pemahaman bapak.
Firman Allah Ta’ala, “Mereka mengambil sesembahan-sesembahan selain Allah, agar mereka mendapat pertolongan” (QS. Yasin [36]: 73).
Kesimpulannya, memaknai ‘laa ilaaha illallah’ dengan ‘tidak ada sesembahan selain Allah’ adalah tidak tepat karena realita menunjukkan bahwa di dunia ini terdapat sesembahan-sesembahan yang lain selain Allah Ta’ala. Bahkan Allah sendiri mengakui bahwa memang terdapat sesembahan selain Dia.”

B : “Jadi, apa makna yang benar dari kalimat Laa ilaaha illallah menurut anda?”

A : “Makna yang tepat adalah La ma’buda bihaqqin illallah, yaitu tidak ada sesembahan yang berhak (benar) disembah kecuali Allah, atau Laa ilaaha haqqun illallah. Dalilnya firman Allah Ta’ala yang artinya, “Demikianlah, karena sesungguhnya Allah, Dia-lah (sesembahan) yang haq (benar). Dan sesungguhnya apa saja yang mereka sembah selain Allah itulah (sesembahan) yang batil” (QS. Luqman [30]: 31).
Inilah kenapa kaum musyrikin Mekkah enggan menerima dan mengucapkan kalimat ini. kalimat ini menuntut kita untuk menyembah hanya kepada Allah ta’ala dan mengingkari segala sesembahan selain-Nya, entah itu malaikat, nabi, orang salih, jin, matahari, pohon, apalagi batu. Dan orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallah harus meyakini bahwa segala bentuk ibadah, entah itu shalat, puasa, nadzar, sembelihan, meminta perlindungan dan keselamatan, dan lain sebagainya hanya boleh ditujukan kepada Allah.”

B : “Anda telah berbuat Bid’ah! Anda telah menambahkan kalimat lain kedalam kalimat Laa ilaaha illallah, menjadi Laa ilaaha haqqun illallah atau La ma’buda bihaqqin illallah. Kenapa kalimat tersebut ditambahkan dengan kata ‘haqqun’? Apakah itu bukan bid’ah?”

A : “Dijelaskan oleh ulama, karena kaidah bahasa Arab menuntut agar kalimat tersebut disampaikan secara ringkas, namun dapat difahami oleh setiap orang yang mendengarnya. Meskipun kata ‘haqqun’ dibuang, namun orang-orang musyrik jahiliyyah dahulu telah memahami bahwa ada satu kata yang dibuang (yaitu ‘haqqun’) dengan hanya mendengar kalimat “laa ilaaha illallah”. Karena bagaimanapun, orang-orang musyrik jahiliyyah adalah masyarakat yang fasih dalam berbahasa Arab. (Lihat At-Tamhiid, hal. 77-78).
Yang sebenarnya bid’ah adalah ketika kalimat tersebut diartikan dengan makna yang tidak sesuai dengan makna sebenarnya, yaitu seperti mengartikan Tuhan sebatas keyakinan orang-orang awwam, atau mengartikan menjadi ‘Tidak ada tuhan (“t” kecil) selain Tuhan (“t” besar)’. Wallahu a’lam.”